Sejak dulu, ketua mabit terpilih selalu ditugasi untuk mencari wawasan tentang mabit. Mereka biasa bertanya kepada tiap ketua Mabit terdahulu, “Apa yang harus saya lakukan sebagai ketua?” Seingat saya, terakhir saya ditanya-tanyai itu saat periode Awe menjabat, Mabit 2016. Semangat sekali saya waktu itu menjawab dari A sampai Z pertanyaan-pertanyaan Awe, sedikit membabi buta malah. Tujuan saya adalah mengisi benak Awe sebanyak-banyaknya tentang Mabit. Ini juga saya yakin yang dilakukan narsum lain. Lalu saat Mabit 2016 berjalan, saya paham satu hal, Awe sulit mewujudkan cerita-cerita ‘bacot’ kami. Dia kelelahan di tengah jalan. ‘From Hero to Zero’ kalau kata orang-orang. We, pin sama BKMI apa kabar? Tanya Ka Dion.
Gejala ini bukan cuma terjadi di Awe, tapi juga Chareza, Pras, dan Upi. Saya tidak menyebut Fatan karena ini punya ceritanya sendiri. Nanti kalau sedang mood menulis saya akan ceritakan apa saja ‘dosa’ dia dan angkatannya terhadap Mabit…hahaha.
Oke lanjut, kenapa gejala yang sama selalu terjadi bertahun-tahun? Kenapa ketua Mabit sulit mewujudkan apa yang senior-senior tua ini harapkan? akhirnya, saya mendapatkan jawabannya. Saya mengisi otak mereka terlalu banyak!! Ibarat tangki 4 liter dihajar bensin 20 liter. Apalagi cerita-cerita saya justru terasa ‘fiktif’, dalam artian mereka sama sekali tidak pernah merasakan apa yang saya ceritakan. Tidak ada skenario dalam kepala mereka. Cerita saya mentah dan mengawang. Lalu semuanya menjadi jelas, kesalahan saya pada mereka dikarenakan saya tidak pernah memberi tahu pada mereka ‘APA ITU MABIT DAN BAGAIMANA CARA KERJANYA.’
Oke, ini bisa jadi panjang. Tolong siapkan kopi dan cemilan kalian.
Dilihat dari eksistensinya, Mabit itu organisasi yang unik. Ia bukan organisasi berbasis profit, tidak ada keuntungan ekonomi di sini. Ia bukan seperti BEM, organisasi yang memang orang incar dan memasukinya akan menambah wibawa. Nilai jual anda tidak bertambah jika anda memasukkan Mabit di daftar CV. Ia nyaris tidak dikenal—kecuali di kalangan NF—itu pun banyak dikenal secara negatif. Tidak ada ikatan kontrak yang profesional. Secara ekstrim saya bisa bilang, andai ketua Mabit kabur di tengah jalan, tak akan ada punishment apapun terhadap dirinya dan Mabit akan tetap berjalan. Lalu organisasi macam apa Mabit? saya punya jawaban singkat, ‘organisasi berbasis kenangan.’
Oke kalau kalian bingung saya buatkan simulasinya. Saat saya menjadi Mabiters 2009, saya benar-benar memiliki kenangan yang sebelumnya saya tidak temukan di tempat lain. Ukhwah yang saya rasakan luar biasa. Saya baru pertama kali merasakan belajar yang sungguh-sungguh. Saya menjadi tahan banting karena dua kali gagal ujian (SIMAK dan UMB). Saya jadi menghargai proses. Saya mengenal arti berjuang. Tiba-tiba, teman angkatan yang saya kenal tidak lebih dari setahun menjelma menjadi keluarga kedua. Bahkan sampai sekarang (Fadli, Doloy, Yayan, Wanda) menjadi sahabat saya yang paling penting. Intinya ialah, Mabit 2009 membuat saya memiliki banyak kenangan. Banyak cerita yang bisa saya bagi!!
Ketika Mabit 2009 usai, saya bulat memutuskan untuk menjadi pengajar. Tujuan saya dua; pertama, saya ingin mentransfer ke adik-adik mabiters selanjutnya apa yang saya dapat di mabit. Semua yang saya peroleh di sini terlalu berharga jika saya genggam sendiri. Ini musti dibagi ke Mabiters 2010 dan selanjutnya dan selanjutnya. Ini persis seperti Ka Dion yang bertekad meneruskan Mabit 2003 karena ingin pengalamannya yang berharga di 2002 juga bisa dirasakan junior-juniornya. Alasan kedua, saya ingin mereproduksi ulang apa yang sudah saya rasakan di Mabit 2009. Ini seperti gejala ketagihan. Saya ingin merasakan kembali pengalaman, sensasi, dan euforia Mabit 2009 dalam wujud Mabit 2010, Mabit 2011, dan seterusnya.
Itulah fungsi kenangan di Mabit. Kenanganlah yang menggerakkan mabiters untuk menjadi pengajar. Kenangan juga yang membuat rasa memiliki Mabit muncul. Kenanganlah yang akhirnya menentukan kuantitas dan kualitas performa mereka di Mabit. HIPOTESIS SAYA ADALAH, SEMAKIN BANYAK DAN KUAT KENANGAN SEORANG MABITERS, SEMAKIN DIA PUNYA ALASAN UNTUK MENGAJAR DAN BERTAHAN DI MABIT.
Lantas, kenapa saya meniitikberatkan pada mabiters? Jelas, karena eksistensi dan kualitas Mabit sangat bergantung pada mabiters yang akan menjadi pengajar baru. Merekalah motor utama dalam departemen dan di tahun kedua, mereka pula yang menjadi pengurus inti Mabit. Ya kan?
Dikarenakan eksistensinya bergantung pada kenangan, ini pula yang menjadikan Mabit rapuh dalam banyak hal. Kalian bingung? Oke, ada baiknya saya jelaskan bagaimana cara Mabit itu bekerja.
Kalian pernah melihat roda-roda mesin yang saling bergantung satu sama lain? Apa yang terjadi jika ada satu roda yang rusak? Kerusakan seluruh mesin!! Mabit bekerja nyaris seperti itu. Biar lebih mudah, saya buatkan lagi simulasinya. Dikarenakan performa Mabit yang memburuk, beberapa tahun terakhir Mabit gagal menghadirkan banyak pengajar baru. Stok pengajar baru jadi sangat terbatas terutama pengajar laki-laki. Departemen yang minim pengajar laki-laki lama-lama kesulitan untuk mengadakan kelas malam. Mulailah mereka menerapkan kebijakan, bahwa di hari Minggu kelas ikhwan dan akhwat akan digabung. Lalu, penyakit ini menular. Departemen lain, yang sebetulnya punya stok pengajar laki-laki yang cukup lama-kelamaan ikut-ikutan. Akhirnya, setiap minggu ada saja departemen yang absen kelas malam. Apa masalah berhenti di situ? Tidak, ada mekanisme lain yang bekerja dan ini sangat khas Mabit.
Polanya begini, suatu tradisi yang bertahan di Mabit bisa hilang di Mabit selanjutnya, tapi tradisi yang hilang dari Mabit pasti hilang juga di Mabit selanjutnya. Susah memahaminya? Saya beri contoh konkret dengan melanjutkan kasus di atas. Apa yang terjadi jika sesi malam tidak optimal? Mabiters akan berpikir bahwa pada dasarnya sesi malam bukanlah kewajiban yang harus dijalankan. Itulah mengapa, di periode Mabit selanjutnya—saat mereka menjadi pengajar—justru frekuensi sesi malam makin menipis. Pola ini terus berlanjut dengan akumulasi yang makin buruk tiap tahun. Akhirnya, kelas malam (mabit) yang seharusnya menjadi ciri khas Mabit terancam punah. Kelas malam yang seharusnya menjadi tradisi sakral, berubah menjadi sesuatu yang aneh bagi pengajar. Mabit ko ga mabit??
Apakah masalah stok pengajar hanya berimbas pada sesi malam? Oh tidak Jaenudin Ngaciro. Efek berantai akan terjadi. Stok kakak asuh makin menipis. Muncullah opsi pengurangan jumlah minimal kakak asuh dan diperbolehkan kakak asuh di luar NF. Imbasnya? Kegiatan Kakak Asuh kualitasnya makin tereduksi. Dari yang biasanya 4-5 jam, berkurang menjadi 1-3 jam dengan frekuensi yang makin sedikit di tiap tahunnya. Itupun Kakak Asuh banyak yang diadakan di luar NF yang membuat NF semakin sepi dari anak Mabit di hari-hari biasa (weekday). Saya yakin, pola yang sama akan membuat tradisi Kakak Asuh bernasib sama dengan tradisi kelas malam. Tinggal menunggu waktu.
Efek apalagi yang terjadi gara-gara stok pengajar sedikit? Di tahun kedua, di saat menjadi pengurus Mabit, mereka akan kesulitan setengah mati. Mengurus Mabit itu berat. Butuh teman angkatan yang solid, durability yang terjaga, dan perencanaan yang mumpuni. Sedikitnya pengurus inti yang tidak kompak adalah resep jitu untuk menghadirkan Mabit yang buruk. Mabit yang buruk adalah resep terbaik untuk menghasilkan calon pengurus Mabit (mabiters) yang buruk. Dengan pola yang sama, efek ini bertambah parah setiap tahunnya. Akhirnya ini menjadi semacam kanker yang membesar setiap tahun.
Apakah itu semua ada hubungannya dengan kenangan? Jawabannya adalah ‘Banyak sekali.’ Saya coba daftar kenangan yang hilang akibat dari satu masalah, yakni kekurangan stok pengajar.
-Kenangan tidur di sembarang tempat di NF
-Kenangan belajar dini hari
-Kenangan solat Shubuh berjamaah di masjid sebrang NF
-Kenangan Kakak Asuh dari sore sampai malam
-Kenangan merasakan NF ramai tiap hari karena Kakak Asuh
-Kenangan akan euforia tiap-tiap departemen; pembukaan yang antusias, ujian yang mendebarkan, sampai penutupan yang mengharukan.
-Dan daftarnya terus berlanjut…
Jika kalian yang membacanya merasa apa yang saya tulis di atas adalah fiksi, itu bukti bahwa analisis saya benar.
Ini hanya dikarenakan satu masalah. Apalagi ditambah masalah-masalah lain, bisa dibayangkan betapa parahnya komplikasi yang terjadi di Mabit.
Lalu bisakah Mabit kembali pada jalurnya yang benar? Sayangnya saya betul-betul pesimis. Masalahnya adalah pengurus-pengurus Mabit kekinian tidak tahu apa masalahnya. Mereka tidak bisa mendiagnosa penyakit Mabit karena mereka hanya mencontoh Mabit sebelumnya dan mereka tidak salah. Tidak ada blueprint dalam benak mereka bagaimana Mabit itu mestinya. Jikapun mereka mendapat masukan dari senior-senior tua, mereka akan sangat sulit mewujudkannya, bukan hanya ceritanya terdengar fiktif dan lebay tetapi juga jumlah dan kualitas mereka tidak siap untuk itu. Kualitas yang saya maksud bukan berarti mereka bodoh, tapi kualitas ‘kemabitan’ mereka yang tidak memadai. Kenangan mereka sedikit. Sense of belonging Mabit mereka tipis. Kekompakan mereka ringkih. Tidak banyak cerita yang bisa mereka bagi. Birokrasi yang makin rumit dari NF. Hasilnya adalah Mabit yang ala kadarnya. Seramnya, proses ini berulang bagai lingkaran setan.
Lalu apakah saya menulis ini untuk menyebarkan pesimisme? Bisa ya, bisa tidak, tergantung sudut pandang. Tapi bagi saya penting untuk memberi tahu ini, agar pengurus sekarang (Mabiters 2017) dan calon pengurus (Mabiters 2018) setidaknya paham akan ‘spesies’ bernama Mabit NF ini. Maaf jika tulisan ini tidak include dengan solusi karena percuma saja, jika masalah yang saya beberkan terasa fiksi, apalagi solusinya? Hehehe
Lalu apakah Mabit bisa punah? Bisa!
Kapan? Di saat Mabit gagal menghadirkan pengalaman manis untuk dikenang.