Seputar Mabit: Ontologi dan Penyakitnya yang Sistemik

Sejak dulu, ketua mabit terpilih selalu ditugasi untuk mencari wawasan tentang mabit. Mereka biasa bertanya kepada tiap ketua Mabit terdahulu, “Apa yang harus saya lakukan sebagai ketua?” Seingat saya, terakhir saya ditanya-tanyai itu saat periode Awe menjabat, Mabit 2016. Semangat sekali saya waktu itu menjawab dari A sampai Z pertanyaan-pertanyaan Awe, sedikit membabi buta malah. Tujuan saya adalah mengisi benak Awe sebanyak-banyaknya tentang Mabit. Ini juga saya yakin yang dilakukan narsum lain. Lalu saat Mabit 2016 berjalan, saya paham satu hal, Awe sulit mewujudkan cerita-cerita ‘bacot’ kami. Dia kelelahan di tengah jalan. ‘From Hero to Zero’ kalau kata orang-orang. We, pin sama BKMI apa kabar? Tanya Ka Dion.

Gejala ini bukan cuma terjadi di Awe, tapi juga Chareza, Pras, dan Upi. Saya tidak menyebut Fatan karena ini punya ceritanya sendiri. Nanti kalau sedang mood menulis saya akan ceritakan apa saja ‘dosa’ dia dan angkatannya terhadap Mabit…hahaha.

Oke lanjut, kenapa gejala yang sama selalu terjadi bertahun-tahun? Kenapa ketua Mabit sulit mewujudkan apa yang senior-senior tua ini harapkan? akhirnya, saya mendapatkan jawabannya. Saya mengisi otak mereka terlalu banyak!! Ibarat tangki 4 liter dihajar bensin 20 liter. Apalagi cerita-cerita saya justru terasa ‘fiktif’, dalam artian mereka sama sekali tidak pernah merasakan apa yang saya ceritakan. Tidak ada skenario dalam kepala mereka. Cerita saya mentah dan mengawang. Lalu semuanya menjadi jelas, kesalahan saya pada mereka dikarenakan saya tidak pernah memberi tahu pada mereka ‘APA ITU MABIT DAN BAGAIMANA CARA KERJANYA.’

Oke, ini bisa jadi panjang. Tolong siapkan kopi dan cemilan kalian.

Dilihat dari eksistensinya, Mabit itu organisasi yang unik. Ia bukan organisasi berbasis profit, tidak ada keuntungan ekonomi di sini. Ia bukan seperti BEM, organisasi yang memang orang incar dan memasukinya akan menambah wibawa. Nilai jual anda tidak bertambah jika anda memasukkan Mabit di daftar CV. Ia nyaris tidak dikenal—kecuali di kalangan NF—itu pun banyak dikenal secara negatif. Tidak ada ikatan kontrak yang profesional. Secara ekstrim saya bisa bilang, andai ketua Mabit kabur di tengah jalan, tak akan ada punishment apapun terhadap dirinya dan Mabit akan tetap berjalan. Lalu organisasi macam apa Mabit? saya punya jawaban singkat, ‘organisasi berbasis kenangan.’

Oke kalau kalian bingung saya buatkan simulasinya. Saat saya menjadi Mabiters 2009, saya benar-benar memiliki kenangan yang sebelumnya saya tidak temukan di tempat lain. Ukhwah yang saya rasakan luar biasa. Saya baru pertama kali merasakan belajar yang sungguh-sungguh. Saya menjadi tahan banting karena dua kali gagal ujian (SIMAK dan UMB). Saya jadi menghargai proses. Saya mengenal arti berjuang. Tiba-tiba, teman angkatan yang saya kenal tidak lebih dari setahun menjelma menjadi keluarga kedua. Bahkan sampai sekarang (Fadli, Doloy, Yayan, Wanda) menjadi sahabat saya yang paling penting. Intinya ialah, Mabit 2009 membuat saya memiliki banyak kenangan. Banyak cerita yang bisa saya bagi!!

Ketika Mabit 2009 usai, saya bulat memutuskan untuk menjadi pengajar. Tujuan saya dua; pertama, saya ingin mentransfer ke adik-adik mabiters selanjutnya apa yang saya dapat di mabit. Semua yang saya peroleh di sini terlalu berharga jika saya genggam sendiri. Ini musti dibagi ke Mabiters 2010 dan selanjutnya dan selanjutnya. Ini persis seperti Ka Dion yang bertekad meneruskan Mabit 2003 karena ingin pengalamannya yang berharga di 2002 juga bisa dirasakan junior-juniornya. Alasan kedua, saya ingin mereproduksi ulang apa yang sudah saya rasakan di Mabit 2009. Ini seperti gejala ketagihan. Saya ingin merasakan kembali pengalaman, sensasi, dan euforia Mabit 2009 dalam wujud Mabit 2010, Mabit 2011, dan seterusnya.

Itulah fungsi kenangan di Mabit. Kenanganlah yang menggerakkan mabiters untuk menjadi pengajar. Kenangan juga yang membuat rasa memiliki Mabit muncul. Kenanganlah yang akhirnya menentukan kuantitas dan kualitas performa mereka di Mabit. HIPOTESIS SAYA ADALAH, SEMAKIN BANYAK DAN KUAT KENANGAN SEORANG MABITERS, SEMAKIN DIA PUNYA ALASAN UNTUK MENGAJAR DAN BERTAHAN DI MABIT.

Lantas, kenapa saya meniitikberatkan pada mabiters? Jelas, karena eksistensi dan kualitas Mabit sangat bergantung pada mabiters yang akan menjadi pengajar baru. Merekalah motor utama dalam departemen dan di tahun kedua, mereka pula yang menjadi pengurus inti Mabit. Ya kan?

Dikarenakan eksistensinya bergantung pada kenangan, ini pula yang menjadikan Mabit rapuh dalam banyak hal. Kalian bingung? Oke, ada baiknya saya jelaskan bagaimana cara Mabit itu bekerja.

Kalian pernah melihat roda-roda mesin yang saling bergantung satu sama lain? Apa yang terjadi jika ada satu roda yang rusak? Kerusakan seluruh mesin!! Mabit bekerja nyaris seperti itu. Biar lebih mudah, saya buatkan lagi simulasinya. Dikarenakan performa Mabit yang memburuk, beberapa tahun terakhir Mabit gagal menghadirkan banyak pengajar baru. Stok pengajar baru jadi sangat terbatas terutama pengajar laki-laki. Departemen yang minim pengajar laki-laki lama-lama kesulitan untuk mengadakan kelas malam. Mulailah mereka menerapkan kebijakan, bahwa di hari Minggu kelas ikhwan dan akhwat akan digabung. Lalu, penyakit ini menular. Departemen lain, yang sebetulnya punya stok pengajar laki-laki yang cukup lama-kelamaan ikut-ikutan. Akhirnya, setiap minggu ada saja departemen yang absen kelas malam. Apa masalah berhenti di situ? Tidak, ada mekanisme lain yang bekerja dan ini sangat khas Mabit.

Polanya begini, suatu tradisi yang bertahan di Mabit bisa hilang di Mabit selanjutnya, tapi tradisi yang hilang dari Mabit pasti hilang juga di Mabit selanjutnya. Susah memahaminya? Saya beri contoh konkret dengan melanjutkan kasus di atas. Apa yang terjadi jika sesi malam tidak optimal? Mabiters akan berpikir bahwa pada dasarnya sesi malam bukanlah kewajiban yang harus dijalankan. Itulah mengapa, di periode Mabit selanjutnya—saat mereka menjadi pengajar—justru frekuensi sesi malam makin menipis. Pola ini terus berlanjut dengan akumulasi yang makin buruk tiap tahun. Akhirnya, kelas malam (mabit) yang seharusnya menjadi ciri khas Mabit terancam punah. Kelas malam yang seharusnya menjadi tradisi sakral, berubah menjadi sesuatu yang aneh bagi pengajar. Mabit ko ga mabit??

Apakah masalah stok pengajar hanya berimbas pada sesi malam? Oh tidak Jaenudin Ngaciro. Efek berantai akan terjadi. Stok kakak asuh makin menipis. Muncullah opsi pengurangan jumlah minimal kakak asuh dan diperbolehkan kakak asuh di luar NF. Imbasnya? Kegiatan Kakak Asuh kualitasnya makin tereduksi. Dari yang biasanya 4-5 jam, berkurang menjadi 1-3 jam dengan frekuensi yang makin sedikit di tiap tahunnya. Itupun Kakak Asuh banyak yang diadakan di luar NF yang membuat NF semakin sepi dari anak Mabit di hari-hari biasa (weekday). Saya yakin, pola yang sama akan membuat tradisi Kakak Asuh bernasib sama dengan tradisi kelas malam. Tinggal menunggu waktu.

Efek apalagi yang terjadi gara-gara stok pengajar sedikit? Di tahun kedua, di saat menjadi pengurus Mabit, mereka akan kesulitan setengah mati. Mengurus Mabit itu berat. Butuh teman angkatan yang solid, durability yang terjaga, dan perencanaan yang mumpuni. Sedikitnya pengurus inti yang tidak kompak adalah resep jitu untuk menghadirkan Mabit yang buruk. Mabit yang buruk adalah resep terbaik untuk menghasilkan calon pengurus Mabit (mabiters) yang buruk. Dengan pola yang sama, efek ini bertambah parah setiap tahunnya. Akhirnya ini menjadi semacam kanker yang membesar setiap tahun.

Apakah itu semua ada hubungannya dengan kenangan? Jawabannya adalah ‘Banyak sekali.’ Saya coba daftar kenangan yang hilang akibat dari satu masalah, yakni kekurangan stok pengajar.

-Kenangan tidur di sembarang tempat di NF

-Kenangan belajar dini hari

-Kenangan solat Shubuh berjamaah di masjid sebrang NF

-Kenangan Kakak Asuh dari sore sampai malam

-Kenangan merasakan NF ramai tiap hari karena Kakak Asuh

-Kenangan akan euforia tiap-tiap departemen; pembukaan yang antusias, ujian yang mendebarkan, sampai penutupan yang mengharukan.

-Dan daftarnya terus berlanjut…

Jika kalian yang membacanya merasa apa yang saya tulis di atas adalah fiksi, itu bukti bahwa analisis saya benar.

Ini hanya dikarenakan satu masalah. Apalagi ditambah masalah-masalah lain, bisa dibayangkan betapa parahnya komplikasi yang terjadi di Mabit.

Lalu bisakah Mabit kembali pada jalurnya yang benar? Sayangnya saya betul-betul pesimis. Masalahnya adalah pengurus-pengurus Mabit kekinian tidak tahu apa masalahnya. Mereka tidak bisa mendiagnosa penyakit Mabit karena mereka hanya mencontoh Mabit sebelumnya dan mereka tidak salah. Tidak ada blueprint dalam benak mereka bagaimana Mabit itu mestinya. Jikapun mereka mendapat masukan dari senior-senior tua, mereka akan sangat sulit mewujudkannya, bukan hanya ceritanya terdengar fiktif dan lebay tetapi juga jumlah dan kualitas mereka tidak siap untuk itu. Kualitas yang saya maksud bukan berarti mereka bodoh, tapi kualitas ‘kemabitan’ mereka yang tidak memadai. Kenangan mereka sedikit. Sense of belonging Mabit mereka tipis. Kekompakan mereka ringkih. Tidak banyak cerita yang bisa mereka bagi. Birokrasi yang makin rumit dari NF. Hasilnya adalah Mabit yang ala kadarnya. Seramnya, proses ini berulang bagai lingkaran setan.

Lalu apakah saya menulis ini untuk menyebarkan pesimisme? Bisa ya, bisa tidak, tergantung sudut pandang. Tapi bagi saya penting untuk memberi tahu ini, agar pengurus sekarang (Mabiters 2017) dan calon pengurus (Mabiters 2018) setidaknya paham akan ‘spesies’ bernama Mabit NF ini. Maaf jika tulisan ini tidak include dengan solusi karena percuma saja, jika masalah yang saya beberkan terasa fiksi, apalagi solusinya? Hehehe

Lalu apakah Mabit bisa punah? Bisa!

Kapan? Di saat Mabit gagal menghadirkan pengalaman manis untuk dikenang.

Yang Paling Saya Sukai

Apa yang paling saya sukai ketika waktu mendekati jam 00.00 adalah duduk di teras dengan buku di kedua tangan. Sepinya malam memberikan saya privasi tersendiri. Ketenangannya memungkinkan saya tenggelam dalam buku, berlama-lama menjelajahi teks untuk ‘berkenalan’dengan pikiran penulis. Saya menikmati nyaris setiap momennya. Tidak terkecuali terpaan angin malam di kulit yang memberi kesan mistis, membuat saya berhenti membaca untuk mengedarkan pandangan bahwa tidak ada hantu yang diam-diam mengintip.

Jika sedang jeda, saya selalu menyesap teh yang saya buat panas atau dingin sesuai mood. Saya biarkan lidah saya menikmatinya agak lama sambil memberikan istirahat pada otak yang mungkin kelelahan. Kadang juga saya berhenti sebentar hanya untuk mengelus kepala dua kucing kecil saya yang sedang asyik tidur. Mereka lucu karena saling menindih untuk menjadikan anggota tubuh saudaranya sebagai bantal. Setelah itu saya kembali pada buku saya.

Hebatnya buku adalah dia memberi kita inspirasi dengan cuma-cuma. Untuk membiarkan inspirasi itu mengendap, saya beralih dari buku lalu menerawang angkasa raya yang kebetulan bisa terlihat dengan sekali menengadah. Saya sadar bahwa bintang yang terlihat jelas tidak sebanyak 20 tahun silam. Mungkin sudah terlalu banyak emisi di udara, membentuk semacam kabut yang menghalangi terlihatnya bintang. Ya, menatap angkasa benar-benar berguna!

Satu hal lagi yang saya suka adalah bau semerbak tanah dari beberapa pot-pot tanaman. Ditambah dengan harumnya kertas buku, baunya seperti aroma kehidupan, mungkin karena tanah dan kertas memiliki kekerabatan amat dekat. Bukankah bahan kertas adalah pohon?

Sungguh, momen-momen itulah yang membuat saya benar-benar merasa hidup. Itulah saat ketika saya ‘terbebas’ dari segala kepenatan duniawi. Mengasingkan diri dari hiruk-pikuk menuju buaian malam. Menikmati 1-2 jam untuk mengisi kembali vitalitas jiwa. Mengasah kepekaan terhadap segala bentuk kehidupan. Menurut saya, menyelami buku, menerawang langit, dan melakukan kontak dengan alam adalah sesuatu yang magis. Lebih dari itu bahkan transendental! Untuk saat ini, itulah yang memberikan kebahagiaan yang hakiki. Bukan yang lain.

 

Kenapa Darwin Dimusuhi

Kalian sering dengar nama Darwin kan? Nama yang begitu dimusuhi karena desas-desusnya Darwin bilang manusia adalah keturunan kera. Apa memang gitu? Atau jangan-jangan itu cuma prasangka yang diwarisi orang-orang sekitar kita. Yasudah gini, baca tulisan saya tentang Darwin. Gak sampai 5 menit kok dan mudah-mudahan bisa ngasi pencerahan pada kalian kenapa mas Darwin ini amat dimusuhi sama orang-orang gereja.

Pertama, masalah umur bumi. Pada saat itu gereja yakin bahwa umur bumi hanya berkisar 6000 tahun terhitung sejak Nabi Adam diciptakan. Lalu Darwin datang dengan teori bahwa evolusi yang terjadi pada makhluk hidup memerlukan waktu sangat lama. Teorinya begini: Perubahan sangat kecil yang berlangsung amat lambat akan menjadi sebuah perubahan besar jika berlangsung cukup lama. Dia berkeyakinan bahwa  ragam jenis tumbuhan dan hewan yang ada sekarang pastilah hasil jerih payah evolusi selama berjuta-juta tahun. Darwin memperkirakan umur bumi berkisar 300 juta tahun. Itulah pertama kali teori Darwin bertentangan dengan gereja. Gereja marah karena Darwin seolah-olah menyalahi kepercayaan Kristen. Tapi siapa yang mendekati kebenaran tentang umur bumi? Akhirnya kita tahu dari geologi modern bahwa umur bumi adalah 4,5 milyar tahun.

Kedua, menjauhkan Tuhan dari proses penciptaan. Saat itu, gereja berkeyakinan bahwa Tuhan menciptakan semua makhluk hidup satu persatu. Tuhan menciptakan lalat, lalu menciptakan katak, lalu burung, harimau, bla bla bla dan akhirnya menciptakan manusia. Darwin datang dengan keyakinan bahwa semua makhluk hidup berasal dari pohon evolusi yang sama dan satu-satunya. Lalat, katak, harimau dll merupakan saudara jauh yang memiliki leluhur yang sama. Proses seleksi alam menghasilkan evolusi-evolusi tak terduga dan setelah berlalu ratusan juta tahun spesifikasi antar makhluk semakin terlihat. Itulah mengapa Darwin berkeyakinan bahwa pada suatu periode, manusia dan kera artropoid bertemu dalam satu jalur nenek moyang  yang sama. Lagi-lagi gereja marah karena menurutnya Darwin benar-benar memisahkan kisah penciptaan dengan Tuhan.

Lantas mana yang lebih mendekati kebenaran? Lagi-lagi kita harus akui bahwa berdasarkan paleontologi, Darwinlah yang lebih benar ketimbang gereja. Paleontologi menjelaskan alur evolusi dari awal terciptanya organisme bersel satu sampai evolusinya menjadi makhluk kompleks bersel banyak. Sebagaiman pohon menghasilkan dahan, dahan menghasilkan ranting, ranting menumbuhkan cabang-cabang yang lebih kecil lagi. Begitulah riwayat pohon evolusi sampai akhirnya ada keragaman tak terkira dalam katalog makhluk hidup.

Ketiga, penurunan status manusia. Sebetulnya inti paling bermasalah dari teori Darwin bukanlah narasi yang Darwin ciptakan sendiri. Ini adalah sebuah kensekuensi tersembunyi dari kenyataan teori evolusi yang digagas olehnya, yaitu kenyataan pahit bahwa ada variasi acak dari perjalanan panjang evolusi yang secara kebetulan menghasilkan spesies manusia. Manusia yang merupakan makhluk Tuhan paling mulia ternyata hanyalah sebuah makhluk yang kebetulan muncul dari proses evolusi yang tidak berkesadaran. Lahirnya nenek moyang manusia berasal dari ketidaksengajaan alam sebagaimana ketidasengajaan alam yang memunculkan tokek, monyet, dan ikan lele. Inilah yang akhirnya meruntuhkan segala pendekatan  umat Kristen dalam memahami Kitab Kejadian. Intinya, inilah yang paling menyebalkan.

Lalu bagaimana Islam memahami konsep Darwin?

Saya yakin kritik Islam pada Darwin sebetulnya hanya di poin ketiga. Islam mengajarkan bahwa manusia merupakan makhluk pilihan yang berarti keberadaannya jelaslah bukan sebuah kebetulan belaka. Bahkan tidak hanya manusia, segala makhluk hidup sudah pasti memiliki tujuan penciptaannya masing-masing yang berarti eksistensinya adalah suatu hal yang sudah direncanakan. Di titik ini kita bisa pastikan Darwin keliru.

Lalu apakah kita harus mengutuk Darwin sebagaimana gereja mengutuknya? Tidak, karena Darwin sebetulnya telah membangun sebuah pondasi penting bagi kita dalam memahami asal-usul kehidupan. Mudah sekali meng-Islamkan teori ini, bahkan kita bisa membalik gagasan yang terkesan anti Tuhan ini menjadi sebuah gagasan Ketuhanan mutlak.

Kita wajib percaya bahwa dalam pembentukan alam semesta, khususnya pembentukan bumi dan isinya, Allah sudah merancang sebuah sistem lengkap yang di dalamnya terdapat potensi evolusi bawaan. Setiap proses evolusi, seleksi  alam, mutasi genetik, adaptasi lingkungan, dan semua faktor yang melibatkan terciptanya ragam kehidupan merupakan hasil karya-Nya yang menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Evolusi memang bukan sebuah entitas yang memiliki intelegensi, tetapi ada kekuatan Ilahiah di baliknya yang memastikan evolusi berjalan sesuai rencana-Nya.

Justru kebesaran Allah menjadi tampak nyata jika Dia menciptakan segala kehidupan ini dengan sebuah sistem holistik yang berjalan sempurna. Ketimbang Dia menciptakan satu persatu makhluk hidup, akan lebih mengagumkan jika Dia menciptakan algoritma yang membuat satu pohon evolusi memunculkan jutaan ranting makhluk yang spesifik. Ya kan?

Bumi yang Memanas

Apa kalian menyadari bahwa beberapa belakangan ini suhu udara betul-betul terasa panas dan pengap? Bahkan di malam hari saya selalu ke teras jika ingin membaca karena kipas angin tidak menolong banyak. Beruntunglah kalian yang hidup dengan AC.

Saya jadi berpikir apakah pemanasan global sudah makin menjadi-jadi? Ah ya ‘Pemanasan Global’, sebuah istilah yang sudah saya pelajari dari SMA tapi tidak pernah terpatri dan cenderung saya remehkan. Tapi kali ini saya mau memberi sedikit pengetahuan tentang itu, mudah-mudahan perenungan ini bermanfaat.

Saya awali perenungan ini dengan mengatakan bahwa manusia itu egois. Ya egois. Dalam rantai panjang sejarah bumi, manusia (kita) adalah jenis yang sama sekali baru. Bumi kita berumur 4,5 milyar tahun, lalu berapa tahun sampai sekarang dari Nabi Adam mulai menjejak di bumi? Tidak lebih dari 8 ribu tahun. Jadi berapa lama waktu bumi untuk menghasilkan spesies manusia? 4,5 milyar dikurang 8 ribu, hasilnya nyaris seperti 4,5 milyar tahun juga.

Tapi spesies yang tercipta dalam waktu sangat lama itu justru berpotensi menghancurkan bumi dalam waktu sangat singkat. Ironis. Keegoisan manusia terhadap alam dimulai mungkin sekitar 500 tahun lalu. Saat di mana manusia mulai mengganggu keseimbangan unsur karbon. Di zaman-zaman pembentukan bumi, jumlah karbon  di atmosfer seimbang. Karbon dioksida yang dihasilkan oleh letusan gunung merapi terurai secara merata oleh sebaran iklim dan angin. Lalu setelah berjuta-juta tahun kemudian karbon-karbon yang terurai itu terikat di kerak bumi dalam bentuk batubara, minyak, dan gas.

Sekitar 500 tahun lalu mesin uap ditemukan. Manusia menggunakan batubara untuk menjalani mesin. Pembakaran batubara berarti pelepasan karbon untuk ditransfer ke atmosfer. Lalu penggunaan gila-gilaan terhadap batu-bara terjadi di saat revolusi industri dimulai. Semua orang mencari tambang batu-bara. Menguasai tambang batubara artinya anda menguasai industri. Anda kaya.

Kegilaan berlanjut di saat mesin pembakaran internal ditemukan. Ternyata ada yang lebih efektif dari batubara, yaitu minyak! Sekarang minyak menjadi komoditas paling berharga. Negara-negara besar mulai mencari ladang minyak. Bagi negara barat, menguasai minyak artinya menguasai persenjataan yang ujungnya adalah kemenangan dalam perang.  Bagi negara timur, minyak adalah jalan tercepat untuk kaya. Walaupun juga berarti  kutukan karena selalu menjadi incaran jajahan Barat. Dengan cepat, manusia mengeksploitasi secara membabi buta sang primadona baru dari perut bumi. Membakarnya dan meracuni atmosfer dengan karbon.

Setelah minyak mulai dinyatakan mau habis karena terus menerus disedot manusia dengan rakus, manusia berinovasi dengan gas. Gas yang asam bukan hanya mencemarkan atmosfer tapi juga bisa meracuni laut. Sampai dengan sekarang semua energi yang tidak terbarukan itu terus dipakai. Dikuras dari sumurnya sampai tetesan terakhir karena keserakahan. Kira-kira berapa milyar ton karbon dioksida yang sudah dilepas ke atmosfer karena pembakaran batubara, minyak, dan gas dalam kurun 500 tahun ini?

Apa sih yang terjadi jika terdapat karbon dioksida berlebih dalam atmosfer kita? Bumi menjadi lebih panas! Ditambah dengan pembakaran hutan dan lahan gambut yang menghasilkan metana, terciptalah efek rumah kaca yang semakin meningkatkan panas bumi. Sudah berapa banyak spesies flora dan fauna yang punah karena ada peningkatan suhu bumi? Banyak. Itulah dosa kita terhadap alam, pengabaian eksistensi hewan dan tumbuhan, dikarenakan ketamakan kita untuk membakar sumber energi.  Oh tidak itu saja, bagaimana dengan generasi mendatang? Bagaimana kondisi bumi pada generasi 100 tahun dari sekarang?

Dalam keadaan terburuknya, pemanasan global bisa meningkatkan suhu bumi sampai 8 derajat celcius? Tahukah kalian jika itu terjadi? es di Greenland dan Antartika bisa mencair. Lalu permukaan air laut meningkat berlipat-lipat membuat negara kepulauan pasti tenggelam.  Peningkatan suhu juga membuat daratan Afrika dan Timur Tengah tidak bisa dihuni lagi. Jutaan flora dan fauna punah karena habitat alami mereka rusak. Jumlah manusia pun akan menyusut seiring banyaknya wilayah yang terlalu panas untuk dihuni. Di titik itu tatanan alam hancur dalam skala yang tidak terkira. Keseimbangan yang terawat setelah milyaran tahun hancur dalam sekejap .

Dengan segenap potensi tamak pada diri manusia, sekarang kita sedang menabung kehancuran bumi kita sendiri. Kita dengan lancang melakukan interupsi besar-besaran terhadap ekosistem yang jelas mengancam eksistensi kehidupan. Berapa banyak lagi jenis hewan dan tumbuhan yang akan hilang dalam ranting sebuah pohon evolusi karena manusia? Bumi yang bagaimana yang akan kita warisi pada generasi mendatang? Apakah bumi kita sanggup bertahan hingga millennium ketiga?

Perenungan saya berakhir sambil menyisakan pertanyaan-pertanyaan berat yang saya sendiri tidak tahu jawabannya. Bukan tidak tahu, tapi itu adalah pertanyaan yang terlalu besar untuk dijawab seorang individu. Beberapa saat, saya memandangi enam tumbuhan yang tumbuh segar di pot dan juga kucing saya yang terlelap di atas kursi. Saya tersenyum dengan pemandangan ini. Merasa  beruntung karena hidup di saat eksisnya beragam binatang dan tumbuhan. Mungkin suatu saat, semua kehidupan yang bisa saya lihat, bisa saya sentuh, dan bisa saya nikmati hanya tinggal fosil saja. Mungkin ada masa di saat semua keindahan yang Tuhan ciptakan hanya tersisa sedikit. Sekeping kehidupan yang tersisa bagi generasi mendatang sebagai bukti ketamakan para leluhurnya.

 

 

Cinta Primordial

Lagi-lagi heningnya malam membuat saya berpikir aneh. Tiba-tiba saya memikirkan CINTA, sebuah entitas yang sudah lama tidak saya rasakan. Saya berpikir, apakah cinta itu memang sudah ditentukan Tuhan sejak awal? Andai benar seperti itu pastilah ‘coding’ cinta manusia sudah ditanam Tuhan semenjak kita berada di alam ruh. Jangan-jangan di alam ruh sebenarnya kita sudah berpasangan dengan seseorang? Tapi karena cinta harus melewati sebuah ujian, Tuhan menguji nya dengan perpisahan.

Ruh adalah pra syarat agar manusia layak disebut manusia. Dikirim Tuhan untuk mengisi cangkang janin yang berusia 4 bulan. Bayangkan dua pasang ruh yang berpisah karena ruh yang satu sudah harus menunaikan tugasnya di alam dunia. Terlalu sakit dengan perpisahan, ruh memohon kepada Tuhan agar dipertemukan kembali dengan pasangannya di dunia. Tuhan menyetujui, memastikan pertemuan kembali tetapi tidak menjamin kebersatuan. Di dunia, kamu bertemu tapi belum tentu berpasangan. Itu firman-Nya.

Jalan terjal muncul tepat setelah perpisahan terjadi. Variasi yang sangat acak dalam penempatan ruh dalam cangkang manusia adalah sumber ujiannya.  Mungkin mereka bertemu, tapi dalam keadaan yang satu kaya dan yang satu miskin. Mungkin mereka bertemu namun umur mereka terlampau jauh. Bisa juga mereka berjumpa dalam keadaan yang lain sudah berpasangan. Atau mungkin mereka sempat berpasangan, tetapi entah kenapa hubungan mereka diinterupsi oleh ego kemanusiaan dan akhirnya mereka berpisah lalu menikah dengan yang lain. Intinya, begitu banyak pertemuan cinta yang tidak beruntung dan berujung pada gagalnya penyatuan.

Itulah mengapa banyak pernikahan yang terjadi bukan dengan cinta sejatinya. Anda bisa menikah dengan siapapun, tapi cinta anda tidak bisa anda arahkan ke setiap orang. Cinta selalu punya instingnya sendiri, dia terus mencari belahan jiwanya yang sempat berpisah di alam primordial. Namun karena bertemu dalam wujud manusia, ruh harus berbagi ruang dengan segenap potensi kemanusiaan yang akhirnya menghasilkan mekanisme validasi yang cara kerjanya mirip seperti orang yang amnesia. Ruh butuh ‘diingatkan’ kembali akan ruh yang menjadi pasangan sejatinya.  Itulah mengapa kita sering kali menjajaki hubungan demi hubungan dengan lawan jenis; entah itu hanya pertemanan, persahabatan, pacaran, bahkan pernikahan. Semua itu adalah mekanisme validasi untuk menemukan cinta sejati.

Lantas pada titik apa kita menyadari bahwa kita telah menemukan cinta sejati? Apakah ada jaminan bahwa cinta sejati itu harus saling berbalas? Apakah ruh yang ‘amnesia’ selalu berhasil dipulihkan? Apakah cinta sejati bisa berlabuh di tempat yang salah? Inilah pertanyaan yang juga memenuhi pikiran saya. Tapi andai teori ini bisa diterima akal kalian, saya tau satu kondisi yang paling menyakitkan; itulah saat ketika orang yang kita percaya cinta sejati kita, malah asyik berhubungan dengan orang lain yang dikira cinta sejatinya. Haha miris.

Saya sudahi tulisan saya karena sudah jam 3 pagi. Ngantuk. Oiya anda tidak wajib setuju. Toh saya menulis ini spontan tanpa riset sedikitpun. Modal saya hanya kesoktahuan dan segelas stmj sasetan. Mudah-mudahan terhibur, selamat tidur.

Renungan Alam Raya

Karena terlalu lelah membaca, aku menengadah ke langit malam. Di malam itu setitik kesadaran membanjiriku bahwa apa yang aku lihat adalah samudra tiada batas angkasa yang menceritakan dirinya di masa lalu.

Apa kaitannya angkasa dengan masa lalu? Sini ku ceritakan

Apa yang kita lihat melalui mata selalu dalam wujud gelombang cahaya. seperti halnya manusia, udara, dan suara, cahaya juga bergerak. Segala yang bergerak selalu terikat dengan waktu bukan? Walaupun kecepatannya fantastis jika diukur oleh bumi kita yang kecil yakni 300.000 kilometer per detik, dalam ukuran alam raya yang amat luas, kecepatan cahaya selalu memakan porsi waktu yang lama.

Contoh kecil, jarak bumi ke matahari jika dihitung dengan ukuran cahaya berkisar delapan menit lebih sedikit. Artinya, cahaya yang kita rasakan di kulit sebenarnya cahaya matahari delapan menit yang lalu. Sedikit lebih jauh, jarak Bumi ke Pluto adalah empat jam cahaya. Bukankah sudah menyita  waktu lebih banyak?

Jika lanskapnya kita perlebar kita akan menemukan ketakjuban lain. Galaksi kita yang bernama Bima Sakti diyakini memiliki 100 milyar bintang. Artinya, matahari merupakan titik mungil di antara 100 milyar yang lain. Kalian tahu jarak bintang terdekat lain dengan matahari? 4 tahun cahaya! lalu berapa jarak galaksi Bima Sakti? 90.000 tahun cahaya! ini berarti dibutuhkan waktu 90.000 tahun bagi cahaya untuk tiba dari satu ujung galaksi ke ujung yang lainnya. Waw!

Jadi jika anda sedang menatap angkasa malam, sejatinya anda sedang mengarungi masa lalu rimba raya  yang amat jauh. Anda bisa saja sedang menatap angkasa 5000 tahun yang lalu dan ketika anda alihkan pandangan ke titik lain, terbentanglah angkasa 15.000 tahun yang lalu. Menakjubkan bukan?

Cerita belum selesai kawan, itu karena ahli astronomi kita yakin bahwa Ledakan Besar yang menciptakan alam raya menghasilkan sekitar 100 milyar galaksi. Berarti, 100 milyar galaksi dengan 100 milyar bintang di setiap galaksinya. Banyak sekali!

Oiya, kita kembali ke masalah jarak, berapa jarak dari galaksi Bima Sakti ke tetangga galaksinya yang terdekat yakni Nebula Andromeda? Kalian pasti terkejut, 2 juta tahun cahaya! misalkan ada teropong lintas galaksi maka seorang pengamat masa kini dari galaksi Andromeda yang meneropong Bumi tidak akan mendapatkan pemandangan Bumi yang dihuni manusia dan segala gedung pencakar langitnya, tapi dia akan melihat bumi 2 juta tahun yang lalu, dia akan melihat hewan dalam bentuk kera pertama kali muncul. Agak membingungkan ya?

Belum habis di situ, sekarang diketahui ukuran galaksi Bima Sakti dengan galaksi terjauhnya yang sanggup dideteksi adalah 10 milyar tahun cahaya. Andai bumi menerima sinyal dari sana, itu artinya bumi sedang menerima sinyal dari kehidupan 10 milyar tahun yang lalu! 2 kali lebih tua dari umur bumi kita sendiri!!

Lantas berapa ukuran sebenarnya alam raya ini? Entahlah. Bukan hanya karena amat luas tapi Ledakan Besar sebetulnya belum berakhir, ia  masih berlangsung sampai sekarang. Alam raya ini terus mengembang  dan jarak antar galaksi semakin menjauh, seperti titik-titik spidol pada balon yang semakin menjauh ketika sebuah balon ditiup.

Lalu saya tersadar, siapa saya di alam raya ini? Jika saya adalah debu dari sistem tata surya kita lalu tata surya kita adalah debu dari galaksi Bima Sakti lalu Bima Sakti juga adalah debu di antara 100 milyar yang lain. Maka saya adalah debu dari debu dari debu. Saya adalah entitas sangat mikro di antara trilyun dari trilyun kehidupan, yang sedang mengembara jauh melintasi ribuan tahun masa lalu samudra luas angkasa raya.

Apakah kalian sudah paham sekarang? Jika belum  mengerti, yang cantik-cantik boleh bertanya kok hehe

Konsekuensi Simbol dan Polemik Fatwa MUI

mui

mui.or.id

Setelah MUI mengeluarkan fatwa yang berisi adanya pelarangan pemakaian atribut Natal bagi seorang muslim, kasak-kusuk suara negatif menyerbu. Kebanyakan dari sesama Muslim yang agak ‘liberal’, tak ketinggalan cendikiawan Muslim maupun beberapa kyai mengkritik fatwa ini, atas nama toleransi katanya. Biasanya para pejuang toleransi ini berdalil, bahwa para kaum konservatif sangat terpaku pada simbol. Topi Santa dan pohon cemara hanyalah simbol tidak usah dipermasalahkan. Memakai pernak-pernik umat Kristiani tidak akan menjadikan Anda auto-murtad (meminjam istilah Gus Nadir). Substansi keislaman seorang Muslim tidak akan terancam hanya dengan mengenakan itu semua. Jadilah Islam substansial jangan Islam formal, begitu kata mereka. Fatwa MUI ujung-ujungnya hanya meresahkan masyarakat. MUI tersudutkan dan sedang mengalami penggerusan kredibilitas.

Saya merenungi dalih mereka di atas, ada benarnya tapi kalau anda merenungi lebih dalam harusnya anda menemukan keganjilan yang mendasar. Begini, pada dasarnya semua simbol itu kosong makna dan kitalah yang memberinya arti. Contohnya adalah angka 5 yang sebenarnya tidak berarti apapun sebelum manusia sepakat bahwa itu adalah sesuatu sebelum 6 dan sesudah 4. Barulah 5 berarti sebagai ‘sesuatu’ dan memiliki konsekuensi. Kini anda harus perlakukan 5 pada tempatnya, anda bisa dihujat guru matematika jika berkata sejuta tp menulisnya 5.000.000.

Beralih pada simbol dan atribut keagamaan, semuanya memiliki ragam konsekuensinya masing-masing. Peci, jilbab, baju koko adalah simbol Islam yang menghadirkan sebuah marwah keislaman yang khas. Pemakaianya secara otomatis memancarkan aura keislaman yang kita kenali tanpa harus bertanya lebih dalam. Simbol pada akhirnya berkelindan dengan identitas, melekat dengan harga diri, dan menentukan perasaan.

Identitas, harga diri, dan perasaan ini semuanya sebjektif. Setiap individu memiliki kadar penerimaan berbeda akan ketiga hal tersebut. Saya menginjak-injak fitrah anda jika saya memaksakan agar perasaan anda harus se-frekuensi dengan perasaan saya. Begitulah, pihak yang mengatakan bahwa, “Kaum konservatif hanya terpaku pada simbol dan karyawan Muslim seharusnya tidak mengeluh jika disuruh mengenakan atribut Kristiani” pada dasarnya telah memaksakan kehendak. Maaf jika saya kurang sopan, tapi menurut saya mereka berlagak toleran dengan cara yang intoleran.

Gampangnya begini, maukah anda yang pria saya suruh untuk keluar rumah mengenakan rok pendek dan legging. Kalau anda menolak, saya bisa katakan kalau rok dan legging itu hanyalah simbol, keduanya tidak akan mengubah secara otomatis produksi sperma anda menjadi ovum toh? Jadilah pria substansial jangan pria formal! Ketika beberapa cendikiawan muslim juga berdalih atas nama simbol, saya balik bertanya, maukah mereka berceramah jika panitia Istighasah menyaratkan anda memakai pakaian pastur dalam rangka toleransi tanggal 25? Jujur saya ragu mereka bersedia. Inilah konsekuensi simbol, menentukan secara telak perasaan, harga diri, dan integritas seseorang. Anda hanya membonsai perasaan kemusliman seseorang jika anda mencibir mereka yang enggan mengucapkan selamat Natal apalagi saat mereka menolak menggunakan atribut Kristiani.

Dalam kerangka inilah fatwa MUI terbentuk. Esensi fatwa MUI akan efektif untuk melindungi perasaan dan harga diri umat, terutama para karyawan yang biasanya disuruh untuk mengenakan pakaian ala Santa. Anda lagi-lagi boleh berdalih kalau sebenarnya MUI tidak usah berfatwa demikian, cukup para karyawan lapor polisi jika ada agenda pemaksaan. Ah alasan basi, di tengah perekonomian yang loyo dan sulitnya mencari pekerjaan baru, resiko pemecatan adalah titik lemah yang bisa saja dieksploitasi para pengusaha tiran. Jika saya jadi karyawan, dibanding dengan pemecatan, menjadi si bisu yang penurut lebih masuk akal. Pernahkah logika anda berpikir demikian hai para pemuja toleransi?

Inilah yang dirasakan genting oleh ulama MUI dan akhirnya fatwa MUI memberikan kekuatan legal-formal bagi mereka yang bisa saja perasaan dan karirnya terancam. Fatwa ini tidak mengikat kok, kalian yang muslim dan bersedia memakai atribut Natal tidak terkena dengan fatwa ini. Biar lebih fair, sebenarnya fatwa MUI dalam versi lengkap juga melarang para bos-bos muslim menyuruh karyawannya yang non-Muslim untuk menggunakan atribut Islam ketika periode Hari Raya Islam. Tenang, fatwa ini bekerja dua arah dan menurut saya masih dalam batas toleran. Saya kira saudara kita yang Kristiani mengerti betul psikologis ini, ironisnya yang sering gagal paham dan ahli sindir adalah muslim sendiri yang doyan memainkan politik identitas.

Masih tentang simbol, saat Rasulullah bermusyawarah tentang simbol pemanggilan shalat, Rasul menolak usul pemanggilan dengan lonceng karena identik dengan Kristen, pun begitu dengan terompet karena identik dengan Yahudi. Akhirnya disetujuilah adzan sebagai metode untuk memanggil orang shalat. Andai Rasul menerima salah satu dari simbol itu, saya yakin sejarah akan banyak berubah. Simbol itu penting bukan?

Oiya, saya bukan maniak simbol, tulisan ini sekedar perasaan resah saya bagi orang-orang yang mereduksi habis makna simbol. Saya bukan anti pernak-pernik Kristiani, bahkan Donal Bebek versi Natal selalu menjadi bagian yang paling saya suka, film Natal pun seru-seru. Saya turut bahagia juga dengan perayaan Natal. Jika ada teman Muslim saya mengenakan kostum Santa Claus saya tidak akan menyinyir, malah saya akan tertawa di depannya sambil memberikan kaos kaki saya, mungkin nanti diberi cincin emas untuk mahar eaaa.

Sudahlah teman, hargai perasaan saudara Muslim kita yang berbeda, pun hargai MUI yang telah bersusah payah menelurkan fatwa. Fatwa ini demi kebaikan umat walaupun MUI harus sedia menerima resiko dibully oleh mereka yang sudah dari awal sentimen dengannya. Marilah nyalakan lilin kesepahamahan di antara kita, jangan padamkan apinya dengan kebencian.

Ini hari yang berbahagia–terlepas dari ragam pandangan–hari kelahiran Nabi Isa berarti hari yang penting bagi tiga agama monoteis (Islam, Nasrani, dan Yahudi). Beliau Nabi pilihan, maka itu mari kita curahkan shalawat serta salam untuk beliau, Nabi Isa alahissalam.

Sekian. Selamat berbahagia.

Huru-hara di Medan Fesbuk

Awalnya dibuat, Fesbuk berfungsi sebagai alternatif perjumpaan. Mempertemukan sahabat yang berpisah, keluarga yang jauh, teman yang terpencar, dan bahkan orang baru adalah kekuatan positif Fesbuk. Memang mengumpulkan orang-orang di dunia maya jauh lebih mudah ketimbang di kenyataannya. Itulah yang saya rasakan dulu ketika tahun 2009, saat baru membuat akun di Fesbuk.

Lalu sekarang? lupakan fungsi Fesbuk yang dulu. Kini Fesbuk telah bermetastasis secara sempurna menjadi alat propaganda. Lihatlah beranda Anda dan jujurlah bahwa apa yang saya katakan lebih banyak benarnya. Alih-alih menyatukan, Fesbuk menjadi semacam medan pertempuran virtual yang menjijikan. Senjatanya bukan senapan dan bom tapi nyinyiran, sarkasme, pembunuhan karakter, dan pembohongan publik. Tapi sama dengan semua perang, perang virtual ini melibatkan isu agama dan politik yang sarat dengan emosi, kelicikan, dan insting membantai.

Apa penyebabnya? Banyak faktor dan saya mau menjelaskan salah satunya, yaitu benturan orang-orang yang saling tidak singkron.

Begini teman-teman, sebelum ada medsos pembauran antara pemikiran liberal dan konservatif jarang terjadi. kalaupun ada jelas tidaklah semasif sekarang. Masyarakat memilih sendiri-sendiri guru, kyai, atau ulama yang ingin dijadikan panutan. Jika mereka suka dengan pemikiran tradisional-konservatif maka kyai-kyai kampung dengan pengajian ala ta’lim, yang identik dengan pembacaan kitab klasik adalah pilihan terbaik. Lalu yang suka pemikiran progresif-liberal akan cenderung beralih pada seminar-seminar atau kajian yang digeluti oleh cendikiawan muslim semacam Cak Nur, Gusdur, Harun Nasution dll. Tidak ada benturan pemikiran karena masing-masing berada di ranah yang beda ditambah belum ada wadah yang siap menampung dua aliran yang tampaknya saling berhadap-hadapan. Wilayah irisan antara keduanya mungkin hanya terdapat pada mahasiswa-mahasiswa UIN yang secara psikologis memang disiapkan untuk mengkompromikan dua kutub ekstrim ini, inilah wilayah moderat.

Lalu medsos datang dan menghancurkan sekat-sekat tersebut. Tiada lagi pembatas, semua pemikiran saling bercampur aduk seperti adonan. Mark Zuckenberg telah menyediakan panggung bagi siapapun untuk menyuarakan pemikirannya. Fesbuk kini menjadi terminal lintas mazhab dan pemikiran. Semacam al-Azharnya dunia maya, tapi ketika al-Azhar berisi para pelajar dengan kecenderungan diskusi, Fesbuk berisi para petarung dengan gairah mencela.

Ironisnya, suara dari toa-toa virtual jelas lebih menggema dan penyebarannya jauh lebih cepat ketimbang kuman. Masyarakat konservatif mulai bersinggungan dengan pemikiran liberal yang memuakkan dan masyarakat liberal mulai bersentuhan dengan pemikiran tradisional yang menggelikan. Inilah sumber masalahnya, keduanya merasa aneh dan tak cocok dengan satu sama lain. Keduanya merasa terancam, alhasil, arus pemikiran ini beradu secara radikal, keras, dan saling ingin meniadakan.

Kondisi ini diperburuk karena produk samping dari gejala ini adalah pembunuhan karakter seorang tokoh, yang bahkan bisa jadi sebetulnya dia tidak terlibat sama sekali. Ini terjadi karena orang-orang cenderung menjadikan tokoh-tokoh idolanya sebagai tameng sekaligus peluru untuk memenangkan wacana. Alasannya mudah, seorang tokoh bisa menambah bobot ilmiah sebuah argumentasi. Biasanya yang liberal tidak sungkan-sungkan melekatkan kesetiannya dengan tokoh seperti Gus Mus, Gus Nadir, Said Aqil, bahkan Gus Dur demi menamengi dirinya, sekaligus memakai argumennya untuk menggilas ulama semacam Habib Riziq, Aa Gym, Bachtiar Nasir bahkan MUI. Sebaliknya, pengagum Habib Riziq, Aa Gym, Felix Siauw juga begitu. Berlindung di bawah argumennya sekaligus mendedas habis Gus Mus, Said Aqil, bahkan Quraish Shihab.

Inilah yang kita sesalkan, benturan tak terkendali yang akhirnya mengorbankan nama baik dari para ulama. Jelas kita butuh ulama semacam Gus Mus sepenting kita butuh seorang Habib Riziq. Begitupun sosok Aa Gym kita perlukan sebagaimana Said Aqil. Semua punya karakter yang memadai bagi fungsinya masing-masing. Jelas membenturkan mereka adalah kebodohan ganda orang-orang minim akhlak. Tapi sungguh miris, beberapa cendikiawan akhirnya tertular virus nyinyir ini, dan pada titik ini cendikiawan yang liberal lebih lantang untuk bersuara pedas.

Jadi sudah mengerti kan kenapa prahara di Fesbuk bisa begitu kompleks dan menguras energi? Intinya adalah benturan orang-orang yang tidak saling singkron. Orang-orang yang tidak saling siap menerima perbedaan yang tajam. Secara alamiah setiap pihak mengidentifikasi pihak yang bersebrangan sebagai lawan. Pada akhirnya siapapun berusaha bersuara paling keras untuk menenggelamkan suara yang lain. ‘Siapapun’ itu artinya bukan hanya orang berilmu, tapi pembuat onar, politisi busuk, aparat licik, dan konspirator ulung secara sah bisa bersuara untuk kepentingannya masing-masing. Inilah kekeruhan konflik yang membuat kita semua stress.

Sungguh penalaran kritis, akhlak karimah, dan pengendalian diri amat kita butuhkan. Di saat tidak ada metode validasi yang shahih untuk setiap berita yang muncul, kita butuh rasa saling pengertian untuk mengurai benang kusut ini. Daripada saling mencaci dan menjelekkan kenapa tidak menyalakan obor kesepahaman di antara kita?

Semoga bermanfaat.

212, Kapan Engkau Terulang Lagi?

212

republika.co.id

Saya yakin 212 akan menjadi semacam kode yang terus diingat. Memorinya sulit dilupakan dan pada waktunya akan terkomposkan untuk terus diceritakan dalam narasi panjang sejarah Islam Indonesia. Walaupun perjuangan untuk mendapatkan legalitasnya cukup terjal. Bagaimana tidak? Dugaan makar, selebaran peringatan dari helikopter, blokade jalur bus, larangan membawa massa dari luar Jakarta. Belum lagi fatwa PBNU tentang tidak sahnya shalat jumat di jalan, ditambah hiruk-pikuk antara yang pro dan kontra di medsos. Tapi apakah itu membuat tekad massa sirna? Tidak. Justru itu membuat tekad massa mengganda berkali-kali. Singkatnya, setiap larangan yang dilayangkan hanya akan menambah bobot moral dalam setiap argumen pembenaran aksi 212.

Lalu diplomasi ulung para ulamalah yang membuat jalan buntu itu pecah. Pada akhirnya dua pihak yang saling mengunci (ulama-aparat) menemukan solusi ‘menang-menang’. Bahkan, keuntungan terbesar ada di pihak pro karena dekrit perjanjian membuat para aparat juga turut membantu menyiapkan segala hal terkait detail 212. Akhir yang manis ketika Kapolri dan para ulama bergandengan tangan, tersenyum bersama, dan bekerja terpadu untuk kesuksesan 212
.
Tapi cerita tidak berakhir di situ.

Mana lagi yang lebih dramatis daripada para santri Ciamis yang memutuskan jalan kaki setelah bus-bus menolak mengangkut mereka? Ciamis ke Jakarta bukanlah jarak nyaman jika ditempuh jalan kaki oleh manusia modern, 210 km lebih! Pinggirkan mereka yang mengecilkan usaha ini dengan kalimatnya yang nyinyir. Sisihkan mereka yang membenci tekad ini dengan prasangkanya yang buruk. Tapi lihat berapa banyak muslim yang terinspirasi oleh santri Ciamis ini. Lihatlah antusiasme para warga yang memberikan secara suka rela apapun yang mereka butuhkan. Makanan, minuman, baju, celana, sandal, sepatu, bahkan obat-obatan memenuhi pinggir jalan sepanjang garis lintasan mereka. Pada akhirnya gerakan ini menginspirasi orang kaya di Padang untuk menyewa pesawat, dan menjadi role model bagi banyak Muslim Jakarta untuk sama-sama jalan kaki dari tempatnya berada.

Lalu hadirlah jutaan ummat Islam yang memutihi monas dan sekitarnya.

Dilihat dari konfigurasinya, ini adalah campuran unik antara ketaatan kepada hukum, kebanggaan sebagai ummat, dan kecintaan terhadap Islam. Jika dalam aksi 411 latar belakang menuntut keadilan bagi Ahok memegang proporsi yang paling besar, saya rasa aksi 212 memiliki modus yang agak berbeda. Ini bukan aksi menyombongkan diri karena banyaknya massa seperti perkiraan banyak orang. Bukan. Ini bukan aksi orang-orang kolot yang tidak sabaran dengan proses hukum Ahok. Bukan. Lalu apa? Saya rasa ini mengenai sesuatu yang bersifat purba, fitrah, dan transenden. Ini adalah kerinduan mendalam untuk bergabung dalam lingkaran sesama Muslim. Sebuah panggilan hati untuk bersatu dengan ummat, bersama-sama menjalin ikatan batin yang padu, kohesif, dan berkelindan. Inilah yang menyebabkan gaungnya beresonansi kuat, menyentuh jiwa setiap Muslim di penjuru Indonesia untuk mengambil bagian dalam 212.

Saking kuat resonansinya, saya menjadi prihatin dengan Anda-anda yang memiliki sikap antipati atau bahkan benci dengan aksi ini. Kenapa getaran yang begitu kuat ini tidak tertangkap dalam kalbu Anda? Hijab semacam apa yang mampu menutupi jiwa Anda. Baiklah itu tidak penting lagi. Tapi izinkan saya untuk tidak memonopoli kenikmatan itu sendiri, izinkan saya membagi pengalaman luar biasa ini, agar Anda dapat mencicipi citarasanya sedikit.

Demi Allah ini adalah pengalaman yang begitu epik, indah, sekaligus mengharukan. Ketika jutaan Muslim lintas mazhab dan lintas pemikiran berkumpul untuk berzikir bersama. Kami berbaur tanpa melihat firkah, ormas, lembaga, tarekat, atau apapun. Kami tidak berkata, Anda Muhammadiyah? Anda pecinta Habaib? Anda Wahabi? Anda Nu? Anda HTI? Anda Syiah? Anda bertarekat? Tidak bukan itu. Tapi yang sama-sama kami katakan adalah, “Anda Muslim? mari bergabung dengan kami”

Bayangkan, sebelum hari H setiap masjid mengumumkan bahwa logistik telah siap dan titik keberangkatan di jalan ini dan itu. Dapur umum dibuka di banyak tempat. Masjid-masjid besar menyediakan penginapan. Begitupun beberapa lembaga, instansi, dan ormas yang peduli. Lalu di luar daerah, kegiatan Aksi diselenggarakan sebagai bentuk solidaritas. Ya, semua bersinergi demi 212.

Saat 212 berlangsung ketertiban terjaga dan kebersihan dipedulikan. Setiap orang menjadi ‘tukang sampah’ minimal bagi dirinya masing-masing. “Jangan injak tanaman” masih menjadi kidung yang terdengar konstan di telinga. Bagaimana dengan makanan? Wah, setiap anda berjalan 20 meter selalu ada oknum konsumsi yang ‘memaksa’ anda mengambil makanannya. Anda harus terpaksa melewati mereka tanpa ketahuan jika tidak ingin pulang dengan makanan tertimbun di tangan.

212 menghambat perekonomian? Sebaliknya! 212 menggerakkan roda ekonomi lebih kencang. Tanyakan pada maskapai penerbangan, kereta api, dan bus berapa kali lipat keuntungan mereka daripada hari biasa? Betapa untungnya perusahaan air minum? Belum lagi bisnis makanan dan catering. Pada ujungnya, berapa banyak pedagang yang disejahterakan oleh 212? Bukankah ini yang namanya keberkahan?

Terakhir dan ini yang paling penting. Umat Islam sudah lama dihantui oleh bayang-bayang kesuksesan Islam abad pertengahan. Puncak intelektual Abbasiyah, legenda Andalusia, kemegahan Safawi, ketenaran Moghul, dan kebesaran Usmani, semuanya menjadi kenangan manis yang sepertinya sulit diulang. Tapi konsolidasi massif Islam Indonesia yang plural—yang sepertinya mushtahil—membuat secercah harapan itu ada. Gerakan 212 membuat api optimisme—akan sebuah kejayaan—yang hampir mati itu kembali menyala. Bisa jadi Islam Indonesialah yang nantinya memimpin kebangkitan Islam di dunia. Mudah-mudahan.

Ah sudah terlalu panjang saya bercakap, jika nanti ada yang semacam 212 lagi saya tidak akan segan-segan mengulurkan tangan saya kepada Anda sambil berkata, “Bergabunglah bersama kami”.

GURU ITU…

Menjadi guru itu sulit, tanggung jawabnya berat. Satu suntikan salah, dokter hanya membunuh satu orang, satu ilmu salah, guru bisa membunuh satu generasi.

Menjadi guru itu sulit, waktunya terkuras habis. Paginya mengajar, siangnya mengajar, sorenya mengajar, malamnya? Menyiapkan materi, membuat soal, dan mengoreksi tugas. Kapan guru bisa membaca dan menulis? Hanya Tuhan yang tahu.

Menjadi guru itu sulit, tuntutannya banyak. Profesionalismenya dituntut, kecerdasannya dituntut, akhlaknya pun juga dituntut. Keberhasilannya sering dipandang sebelah mata sedang kesalahannya dipandang seribu mata.

Menjadi guru itu sulit, mentalnya harus serba siap. Siap untuk lelah, siap untuk tidak banyak uang, siap untuk disalahkan, dan yang paling memilukan adalah harus siap untuk dilupakan.

Tapi di tengah kepungan kesulitan itu…

Menjadi guru itu berkah, karena mengajar adalah membagi apa yang dipunya tanpa harus kehilangan sedikit pun. Ilmu guru ibarat lilin abadi yang siap menerangi pelita lain tanpa takut kehabisan apinya.

Menjadi guru itu ‘kaya’, bukan harta yang saya maksud tapi lebih bernilai dari itu, sesuatu tak terlihat bernama pahala. Bukankah, ilmu bermanfaat adalah investasi yang jauh lebih berharga ketimbang emas?

Menjadi guru itu awet muda, setiap hari bersilaturrahim dengan murid. Kebahagiaan para murid merupakan obat alami terampuh dan tertawa bareng mereka adalah terapi awet muda paling mujarab.

Dan akhirnya, menjadi guru sejati itu mulia. Karena seorang guru selalu memperhatikan dua dimensi, kaki kanannya di dunia, kirinya di akhirat. Benarlah yang mengatakan bahwa kemuliaan tugas guru hanya bisa dikalahkan oleh kemuliaan tugas nabi.

Terakhir, semoga keberkahan dan keutamaan selalu tercurah kepada guru-guru di kehidupan saya: Orang tua, guru MI Al-hikmah, MTsN 1, SMA 26, Mabit, dosen Ars, dosen PAI, juga untuk para ustadz, kyai, teman, sahabat, bahkan murid saya.

SELAMAT HARI GURU 🙂